Periwayat Hadist
Maksud dari periwayat hadis dengan lafal adalah dimana dalam meriwayatkan hadis tersebut isi hadis atau matannya sama persis dengan apa yang disampaikannya oleh Rasulullah. sedangkan maksud dari riwayah bil-mak’na adalah periwayatan hadis yang isi atau matannya berbeda secara bahasa dari yang disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi hadis tersebut tetap sama.
Meskipun dalam sejarah hadis riwayah bil-ma’na telah diakui terjadi secara besar-besarana, diantara para ulama masih terjadi perbedaan boleh atau tidaknya riwayh bil-ma’na dilakukan. Bagi sebagian ulama yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ulama ushul fiqh (Ibnu Sirin dan Abu bakar al-Razi), Abu Rayyah yang menolak riwayah bil-ma’na, dengan argumentasi bahwa riwayah bil-ma’na jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi bukanlah sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi, lupa, lemah ingatanya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf, ulama khalaf di bidang hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama, bahwa seorang perawi harus memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua, seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan lafal.
Meskipun dalam sejarah hadis riwayah bil-ma’na telah diakui terjadi secara besar-besarana, diantara para ulama masih terjadi perbedaan boleh atau tidaknya riwayh bil-ma’na dilakukan. Bagi sebagian ulama yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ulama ushul fiqh (Ibnu Sirin dan Abu bakar al-Razi), Abu Rayyah yang menolak riwayah bil-ma’na, dengan argumentasi bahwa riwayah bil-ma’na jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi bukanlah sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi, lupa, lemah ingatanya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf, ulama khalaf di bidang hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama, bahwa seorang perawi harus memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua, seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan lafal.
0 komentar:
Posting Komentar