Sabtu, 22 Desember 2012

FORTIFIKASI

print this page cetak 

PENDAHULUAN

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar. Beberapa ahli bahkan menyatakan kebutuhan atas pangan merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar.

Dalam kaitan ini, penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, bahkan secara tegas menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat”. Di sini, pengertian pangan sebagai hak asasi manusia ini tidak hanya bersifat kuantitatif saja, tetapi juga mencakup aspek kualitatif. Pangan yang tersedia haruslah pangan yang aman untuk dikonsumsi, bermutu dan bergizi. Dengan demikian pembicaraan tentang pangan memang pada kenyataannya sulit dipisahkan dengan gizi. Bentuk tidak terpenuhinya hak asasi atas pangan dan gizi yang paling umum adalah kekurangan pangan alias kelaparan. Namun demikian, harus disadari bahwa kelaparan mempunyai beberapa tingkatan, yang jika terjadi secara cukup lama dan terus-menerus, akan berkontribusi pada terjadinya kemunduran/penurunan status kesehatan, produktivitas, dan akhirnya ikut pula mempengaruhi tingkat intelektualitas dan status sosial. Tingkat-tingkat kelaparan itu sendiri antara lain dipengaruhi oleh (i) jumlah konsumsi bahan pangan, (ii) jenis dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi, atau (iii) kombinasi antara kedua faktor tersebut.

Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient) iodium, besi, dan vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari kekuarangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.

Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.
PENGEMBANGAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN

Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.

The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.

Istilah double fortijication dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atan campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle’, sementara zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Fortificant ‘. Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:
Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan). Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.
Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.
Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega .

Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain

adalah:
Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien
Segmen populasi (menentukan segmen)
Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan
Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial
Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan
Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
Mencari dukungan industri pangan
Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya

10. Kembangkan teknologi fortifikasi

11. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas organoleptik dari produk fortifikasi.

12. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi

13. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan

14. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi

15. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan

16. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance

17. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.

Program fortifikasi sebaiknya dilaksanakan dan diikuti program gizi lainnya. Pendekatan program yang dapat disertakan diantaranya pendidikan gizi, suplementasi, aktivitas kesehatan masyarakat, dan perubahan konsumsi pangan.

Program fortifikasi memiliki peranan yang sangat penting, tentunya tidak sebatas pemenuhan gizi masyarakat tapi juga mempunyai arti peningkatan kualitas perekonomian suatu negara. Begitu pentingnya program ini, ada wacana penelitian untuk memulai melakukan biofortifikasi pangan. Biofortifikasi pangan bisa diterjemahkan sebagai fortifikasi prematur, yakni fortifikasi bukan diberikan pada produk tapi bahan-bahan hasil pertanian seperti padi sudah memiliki kandungan zat gizi yang sengaja “ditambahkan” mulai dari saat budidaya. Biofortifikasi baru mulai dilakukan peneitian terhadap padi.

Tabel 1. Keuntungan Fortifikasi Pangan Dibanding Dengan Suplementasi Dosis tinggi

Perubahan konsumsi diarahkan ke diversifikasi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan kaya besi. Perubahan akan terjadi bilamana disertai pendidikan gizi dengan penyampaian pesan yang sesuai target grup dan bisa diterima. Melalui peningkatan pemahaman tentang besi dan dampaknya diharapkan akan merubah perilaku pemilihan pangan yang dikonsumsi. Demikian pula dengan suplementasidan dan juga ASI eksklusif tetap harus dilakukan seiring dengan program perbaikan gizi yang lain.
MENGHITUNG NILAI EKONOMI GIZI

Bagi banyak orang, masalah gizi dianggap masalah kesehatan semata, dan bukan masalah ekonomi ataupun masalah pembangunan. Banyak perencana dan pengambil kebijakan pembangunan, kurang menghargai pentingnya investasi di bidang gizi untuk pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Mereka baru ramai-ramai bicara soal gizi ketika sedang terjadi kelaparan dan munculnya banyak balita yang bergizi buruk akibat kurang energi (kalori) dan protein yang dikenal dengan kurang energi protein (KEP). Dengan demikian, menurut Prof. Soekirman (Guru Besar Ilmu Gizi IPB), perlu adanya transformasi “bahasa gizi” ke dalam “bahasa ekonomi”.

Jika keluarga dan masyarakat menyandang masalah gizi maka bangsa ini akan kehilangan potensi sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah yang akan dihadapi antara lain banyak anak yang tidak maju dalam pendidikan di sekolah karena kecerdasannya berkurang, banyak anggota masyarakat dewasa yang produktivitasnya rendah karena pendidikan dan kecerdasannya kurang atau kemampuan kerja fisiknya juga kurang, keluarga dan pemerintah mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi karena banyak warganya mudah jatuh sakit akibat kurang gizi, serta meningkatnya angka kematian pada usia produktif sehingga merupakan penggerogotan sumber daya manusia.

Membangun masyarakat tidak cukup dengan membangun jalan, jembatan, gedung, pabrik, perkebunan, dan prasarana ekonomi lainnya. Investasi di bidang prasarana ekonomi tidak akan dinikmati rakyat banyak tanpa disertai investasi yang sepadan untuk pembangunan social terutama di bidang pangan, gizi, kesehatan, dan pendidikan. Bahkan beberapa penelitian menyatakan bahwa Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sekitar 8,9 triliun rupiah setiap tahun akibat anemia. Hal tersebut membuktikan bahwa masalah gizi bisa diterjemahkan sebagai masalah ekonomi.
PERAN PEMERINTAH DALAM PROGRAM FORTIFIKASI

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional Indonesia telah pula menghasilkan pembangunan bidang pangan dan gizi. Kini, masyarakat Indonesia umumnya mampu mengkonsumsi jumlah bahan pangan yang cukup. Namun dari segi jenis dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi, harus pula diakui bahwa masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya. Kondisi yang terakhir ini, sering tidak menyebabkan individu yang mengalaminya merasakan adanya lapar. Namun, sebagaimana diungkapkan di depan, bila hal ini terjadi pada kurun waktu yang cukup panjang, maka akan menyebabkan gejala-gejala terganggunya kesehatan. Kondisi semacam ini sering disebut sebagai kelaparan yang tersembunyi (hidden hunger), kelaparan gizi, atau malnutrisi.

Program perbaikan gizi selama Repelita VI diprioritaskan untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat melalui peningkatan peranserta masyarakat dalam upaya memperluas cakupan dan sasaran penanggulangan gizi-kurang, terutama di desa-desa miskin dan tertinggal. Dalam pelaksanaannya program perbaikan gizi meliputi upaya meningkatkan mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor industri maupun olahan masyarakat, dan melindungi masyarakat dari bahan makanan yang membahayakan kesehatan.

Program perbaikan gizi dilaksanakan melalui kegiatan-k­egiatan (a) penyuluhan gizi masyarakat; (b) usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK); (c) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (d) fortifikasi bahan pangan, dan (e) penerapan dan pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG).

Pada kenyataannya, hasil dari berbagai survei tentang kondisi gizi di masyarakat Indonesia masih menunjukkan adanya suatu segmen populasi tertentu yang mengalami kelaparan gizi tersebut. Mereka itu terutama terdiri dari anak-anak usia sekolah, golongan tua, wanita mengandung dan menyusui. Ada beberapa sebab yang membuat segmen populasi tersebut muncul. Mungkin itu dikarenakan antara lain (i) oleh kebiasaan dan kesukaan makan yang berbeda antara segmen populasi yang satu dengan segmen populasi yang lain, atau (ii) karena di daerah tertentu tersebut memang tidak atau kurang tersedia produk pangan yang mampu berperan sebagai sumber zat gizi esensial yang diperlukan.

Dari berbagai hasil survai gizi di Indonesia, sampai saat ini Indonesia masih mengalami tiga (3) masalah malnutrisi zat gizi mikro, yaitu masalah (1) gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) yang antara lain dapat menyebabkan penyakit gondok dan kretinisme; (2) anemia zat besi, yang mengakibatkan menurunnya tingkat produktivitas kerja dan ketahanan tubuh (mudah terkena infeksi); dan (3) kekurangan vitamin A yang dapat mengakibatkan terjadinya kebutaan.

Dapat diduga bahwa masalah malnutrisi atau kelaparan gizi ini umumnya dialami oleh masyarakat lapisan bawah. Namun hal ini bukan berarti bahwa lapar gizi tidak terjadi di masyarakat kalangan atas di perkotaan. Dengan adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi makanan rendah kalori, kurang beragamnya produk pangan yang dikonsumsi (terutama hanya bertumpu pada produk pangan olahan saja) dapat pula menyebabkan kondisi kelaparan gizi pada kalangan masyarakat yang berpendapatan tinggi. Karena itu masalah kelaparan gizi ini dapat terjadi pada semua kalangan masyarakat.

Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas hanya akan tercapai manakala ada kebijakan yang kondusif, progresif, dan berkesinambungan.Secara umum, walaupun usaha-usaha pemerintah untuk memerangi masalah malnutrisi zat gizi mikro ini telah banyak dilakukan, antara lain dengan program fortifikasi pangan dan program penyempurnaan pedoman empat sehat lima sempurna. Namun indikasi kuat tetap menunjukkan bahwa masalah-masalah malnutrisi ini secara nasional masih belum terselesaikan dengan tuntas. Mengingat akibat yang dapat ditimbulkan cukup serius, maka usaha penanggulangannya perlu diusahakan dengan baik.


Bicara kaitan gizi dan ekonomi, peraih Nobel Ekonomi, Armatya Sen mengatakan, terjadinya gizi buruk dan kelaparan bukan semata-mata terkait kurangnya bahan pangan di suatu negara, tapi juga akibat akses pangan yang rendah serta lemahnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, seperti temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab, masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik.

Saat ini fortifikasi pangan dianggap strategi yang cukup baik untuk perbaikan gizi mikro. Hasil konferensi internasional gizi di Roma Tahun 1992, fortifikasi pangan merupakan upaya perbaikan gizi yang dianjurkan. Di Jordan pada tahun 1996 juga merekomendasikan fortifikasi pangan dalam rencana aksi nasional gizi.

Pada umumnya penduduk di negara berkembang memiliki akses terhadap pangan rendah karena berkaitan dengan kemiskinan. Kebanyakan mereka mengkonsumsi pangan dari pangan yang ditanam atau pangan yang tersedia di pasar lokal. Pertanyaannya adalah bagaimana program fortifikasi bisa menjangkau para keluarga berpenghasilan rendah. Disisi lain fortifikasi akan menaikkan biaya produksi yang berimplikasi pada kenaikan harga jual.

Fortifikasi pangan merupakan aktivitas yang cukup luas melibatkan berbagai sektor, tidak hanya sektor kesehatan. Keefektifan dan keberlanjutan dari program fortifikasi bilamana terjadi kerjasama yang baik antara pemerintah, sektor publik, sektor swasta dan sektor sosial. Pada program fortifikasi peran swasta dan masyarakat cukup besar dan akan menentukan tingkat keberhasilan.

Pada tataran implementasi program fortifikasi perlu direncanakan dengan baik dalam suatu tahapan. Tahapan dalam implementasi sebagai berikut :
Identifikasi target grup dan penetapan kebutuhan untuk memperbaiki deficiensi besi yaitu kebutuhan untuk fortifikan dan pangan pembawa.
Mengkaitkan fortifikasi dengan strategi perbaikan gizi lainnya, terutama pendidikan gizi, supplementasi dan perubahan konsumsi ke arah peningkatan pangan kaya besi
Menentukan bentuk kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Menilai fisibility fortikasi dan scala produksi industri,
Menentukan lokasi untuk mendemonstrasikan fortifikasi pangan,
Mendesain materi pemasaran sosial yang baik untuk menyampaikan pesan tentang fortifikasi pangan
Advokasi untuk mendapatkan dukungan politik dan financial.
Identifikasi dan pengembangan kebutuhan teknologi fortifikasi untuk menjamin qualitas produk dan biaya murah
Jaminan instalasi dari mesin dan kelengkapan sarana untuk fortifikasi dan untuk jaminan kontrol kualitas dan asuransi.

10. Mendesain sistim monitoring dan evaluasi (MONEF) secara terukur, mekanisme jelas, dengan tujuan untuk bisa melihat perkembangan program fortifikasi.

Kondisi-kondisi yang perlu untuk suksesnya program fortifikasi, antara lain adalah:
dukungan politik,
dukungan industri,
perangkat legislasi yang cukup termasuk pengendalian kualitas eksternal,
tingkat (taraf) fortifikasi yang tepat,
bioavailibilitas yang baik dari campuran,
tidak ada efek penghambat dari makanan asal (common diet),
pelatihan sumber daya manusia pada tingkat industri dan pemasaran ,
akseptibilitas (keterimaan) konsumen,
tidak ada penolakan secara kultural (dan yang lain) terhadap pangan hasil fortifikasi,

10. penilaian laboratoris yang cukup (memadai) untuk status zat gizimikro,

11. dalam kasus kekurangan gizi besi, ketidakhadiran paratisme dan nondiit lain yang menyebabkan anemi, dan,

12. tidak ada kendala yang menyangkut usaha untuk mendapatkan gizimikro.

Salah satu contoh peran pemerintah adalah adanya Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 49/M-IND/PER/7/2008 Tentang Pemberlakuan SNI Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan Secara Wajib setelah sebelumnya mencabut pemberlakuan SNI yang diadopsi sebagai regulasi teknis yang diberlakukan wajib.

Keputusan Pemerintah ini disambut baik oleh Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) Soekirman. Menurutnya, Peraturan Menteri Perindustrian ini lebih baik dan lebih sederhana, sehingga diharapkan tidak ada lagi importir tepung terigu yang menolak fortifikasi wajib tepung terigu dengan alasan ongkos yang tinggi dan dianggap tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Penetapan pemberlakuan SNI tepung terigu ini, lanjutnya, juga disambut baik oleh badan-badan dunia yang berkepentingan dengan program fortifikasi dan mereka yang membantu pendanaan program gizi di Indonesia, seperti Unicef, Bank Pembangunan Asia, WFP, Usaid, CIDA, Micronutrient Initiative (MI) di Kanada, Flour Fortification Initiative di Atlanta, Amerika Serikat, serta negara berkembang yang menyiapkan program fortifikasi wajib, seperti Malaysia, Vietnam, dan India.

Fortifikasi wajib atas komoditas pangan tertentu adalah bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan yang cost-effective. Kedepannya diharapkan agar pada periode pembangunan nasional dan daerah program fortifikasi wajib tidak terbatas pada fortifikasi wajib garam beryodium, dan tepung terigu seperti yang ada, tetapi juga raskin, minyak goreng curah, dan produk tepung lain yang nonterigu.

Di Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan “tunggangan” baru yang lebih umum dan banyak dikonsumsi masyarakat.

Dilihat dari tingkat ekonomi dan kultur masyarakat Indonesia, kandidat yang sangat potensial sebagai tunggangan besi adalah garam. Sebagaimana diketahui, garam merupakan bahan pangan yang murah, mudah didapat dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat di segala tingkat ekonomi. Disamping itu, kadar dan cara konsumsi garam bisa dikatakan hampir seragam. Penggunaan garam sebagai pangan tunggangan pada fortifikasi iodium telah dilakukan secara nasional dan terbukti berhasil menanggulangi defisiensi iodium. Oleh karenanya, penambahan zat besi pada garam beriodium memiliki harapan besar dapat digunakan untuk menanggulangi dua masalah gizi utama di Indonesia sekaligus, yakni gangguan akibat kekurangan iodium (GAKY) dan anemia gizi besi (AGB).

PERAN INDUSTRI DALAM PROGRAM FORTIFIKASI

Harus diakui bahwa, industri pangan di Indonesia telah berkembang dengan cukup pesat. Ia telah berhasil membawa perubahan-perubahan terhadap kebiasaan dan pola makan masyarakat konsumennya. Industri pangan sudah berhasil pula menyajikan kepada konsumen beragam pilihan produk pangan olahan, termasuk yang menjanjikan kemudahan-kemudahan dalam penyiapan, penyajian dan pembuangannya. Namun demikian, pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah perubahan-perubahan cukup mendasar yang diakibatkan oleh kegiatan pengembangan industri pangan tersebut membawa manfaat terhadap status gizi dan kesehatan masyarakat konsumennya?.

Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program fortifikasi di setiap Negara. Hal ini disebabkan karena industri pangan memang memegang peranan yang penting dan strategis dalam membentuk pola dan kebiasaan diet masyarakat. Apalagi dengan kegiatan promosi yang didukung oleh dana yang besar, maka industri pangan mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi (secara positif atau pun negatif) status gizi dan kesehatan masyarakat konsumennya.

Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industri pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehtan sering tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai penasehat, konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan menguntungkan.

lndustri pangan/makanan juga dapat memainkan peranan yang nyata dalam strategi fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan tenik preservation yang dikembangkan dan melalui peningkatan (promosi) pangan yang kaya zat gizimikro yang tersedia secara lokal atau sebagai fortifikan. Spesifiknya, industri pangan (baik nasional manpun multinasional) perlu untuk:
berpartisipasi sejak permulaam perencanaan program, yang akan menetapkan strategi fortifikasi yang layak,
mengidentifikasi mekanisme untuk kolaborasi antara pemerintah, industri pangan dan sistem pemasarannya, dan organisasi non pemerintah dan perwakilan donor,
membantu dalam mengidentifikasi pangan pembawa dan fortifikan yang sesuai,
4. menetapkan dan mengembangkan sistem jaminan mutu (quality assurance system),
5. berpatisipasi dalam dukungan-dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai populasi sasaran.

V. PENUTUP

Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih nutrisi pada makanan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.

Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.

Di negara berkembang, yang memiliki masalah gizi dan kemampuan ekonomi masyarakat rendah, maka fortifikasi merupakan program wajib (intervensi pemerintah). Program pemerintah ini tentunya akan terlaksana dengan baik apabila didukung semua pihak, termasuk di dakamnya industri dan para pelaksana teknis di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA

Hariyadi, P. 1997. Pangan dan Gizi sebagai Hak Asasi Manusia. apakabar@clark.net. Diakses tanggal 9 Oktober 2009.

Nurhayati, S. 2009. Menghitung Nilai Ekonomi Gizi. Harian Pikiran Rakyat, Jumat 13 Februari 2009.

Prihananto. 2004. Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemi Gizi Besi.

Siagian, A. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro, www.library.usu.ac.id. Diakses tanggal 8 Oktober 2009.

www.bsn.go.id. 2008. Pemberlakuan kembali SNI Tepung Terigu Disambut Baik. Diakses tanggal 7 Oktober 2009



edited: by annaseebakpao.blogspot.com

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com