Allah telah mengangkat Nabi Muhammad SAW sebagai
Nabi Penutup yang membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia. IA
dengan segala kebesaran Nya tentu saja sudah memperhitungkan bahwa
sebagai agama penutup, Islam “dirancang” untuk mempunyai sifat paling
sempurna dan menyempurnakan. Kesempurnaan agama ini salah satunya
tercermin dari sistem hukumnya yang komprehensif. Sistem hukum Islam
mengatur segala yang berkaitan dengan aktivitas, keperluan dan
kepentingan manusia. Keluarga berencana juga merupakan salah satu
bahasan dalam hukum Islam. Keluarga berencana (KB) mempunyai pengertian
(1) memberi jeda antar kelahiran anak untuk memudahkan proses menyusui
dan untuk menjaga kesehatan ibu dan anak; (2) memilih masa yang sesuai
untuk kehamilan; (3) mengatur jumlah anak untuk disesuaikan dengan
“keperluan” keluarga, dan juga sesuai dengan kemampuan keuangan,
pendidikan dan proses membesarkan anak. (Omran, Abdel Rahim 1992)
Legalitas
KB di mata Islam telah lama menjadi perdebatan panjang, Dalam artikel
ini, penulis memaparkan pendapat dari ulama-ulama yang pro dan kontra
berdasarkan dari buku-buku karangan mereka. Para ulama, termasuk salah
satunya Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Jadel Haq Ali Jadel Haq setuju bahwa
berdasarkan pengamatan secara komprehensif terhadap ayat-ayat Qur’an,
tidak ditemukan ayat yang secara eksplisit melarang pencegahan kehamilan
atau pembatasan jumlah anak, tetapi ada beberapa hadits yang
mengindikasikan bahwa pencegahan kehamilan diperbolehkan.
Pendapat Ulama
Imam
al Ghazali yang mengikuti mazhab Syafi’i menegaskan dalam Ihya’ Ulum al
Din bahwa ada empat klasifikasi berkaitan dengan perencanaan keluarga
antara lain: (i) diizinkan secara mutlak; (ii) diizinkan dengan syarat istri setuju, dan dilarang jika istri tidak setuju; (iii) diizinkan jika dengan budak, tetapi tidak dengan istri; (iv) dilarang secara mutlak.
Al
Ghazali kemudian mengatakan, “Cara yang benar menurut kami (mazhab
Syafi’i), pencegahan kehamilan adalah diizinkan”. Lebih jauh ia kemudian
mengemukakan alasannya antara lain: (i) memelihara kecantikan dan kesehatannya wanita; (ii) melindungi wanita dari situasi yang “menyusahkan” (dicerai); (iii)
menghindarkan diri dari kehinaan (kemelaratan) dan kepenatan fisik
sebagai konsekuensi jika mempunyai terlalu banyak anak. Ia juga
mengungkapkan bahwa ini adalah salah satu jalan untuk memelihara
keimanan.
Mazhab Hanafi mengizinkan pencegahan pembuahan dengan
syarat istri mengizinkan, tetapi kemudian para ulama dari mazhab ini
berpendapat bahwa izin istri tidak perlu dalam kondisi yang bisa
menurunkan tingkat keimanan; dalam arti kemungkinan mempunyai keturunan
yang tidak shalih. Sedangkan mazhab Maliki dan Hambali mengizinkan KB
dengan persetujuan istri.
Islam memandang satuan keluarga sebagai
suatu unit yang sakral sebagai sarana mencurahkan kasih sayang. Seperti
yang dikemukakan dalam surat al-A’Raf ayat 189. Sebuah pernikahan
membawa konsekuensi besar, antara lain membesarkan anak-anak agar
menjadi pribadi yang shalih, sehat, dan berpendidikan. Jika belum mampu
menanggung konsekuensi ini, maka pernikahan sebaiknya ditunda. Hal ini
dituangkan dalam surat an-Nuur ayat 33.
Nabi Muhammad saw juga menekankan, “Wahai
para pemuda, barang siapa di antara kamu ada yang telah sanggup
menikah, maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat,
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.”
Beberapa relevansi dari perencanaan sebuah keluarga terutama berkaitan dengan beberapa poin yaitu: (i) Faktor kesehatan terutama ibu; (ii) kapasitas ekonomi untuk mendukung berjalannya sebuah keluarga termasuk menjamin masa depan anak-anak; (iii) kapasitas kebudayaan yaitu memberikan pendidikan yang cukup bagi anak-anak, terutama pendidikan agama; (iv) ketersediaan waktu untuk merawat anak-anak termasuk merangsang pertumbuhan intelektualnya; (v) dukungan komunitas sekitar termasuk sekolahan, sarana kesehatan, perumahan yang layak.
Islam Sebagai “Agama Berencana”
Jika
kita amati, ayat-ayat Qur’an sering kali menekankan bahwa semua yang
ada di bumi ini diciptakan dengan sebuah urutan perencanaan.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al Qamar 54: 49)
Muslim juga dianjurkan untuk merenungi hakikat ciptaan-Nya. “… dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran 3:19)
Salah satu ayat “perencanaan” tercermin dalam surat Yasin ayat 40. “Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam-pun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”
Keteraturan penciptaan alam ini merupakan salah satu bentuk kewujudan Allah swt, sebagaimana dikatakan dalam surat al Mulk ayat 1-3.
Bentuk
lain dari perencanaan dalam Islam adalah perintah untuk melaksanakan
shalat lima waktu. Ya, kita sebagai Muslim diperintahkan untuk shalat
lima waktu, bukankah ini suatu bentuk “perencanaan” dan keteraturan
dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika kita berangkat tidur malam, kita
pasti akan “berencana” untuk melaksanakan shalat Subuh pada keesokan
pagi, dan saat kita tengah di Subuh hari, kita akan berencana untuk
melaksanakan shalat Zhuhur pada siang harinya, begitu seterusnya.
Kita
juga dapat merenungi kisah Nabi Yusuf AS Sebagai Nabi Allah,
perencanaannya saat itu adalah membuat persiapan pada tujuh tahun
pertama untuk menghadapi kekeringan dan paceklik pada tujuh tahun
berikutnya. Dan nabi Yusuf AS berkata, “Yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku.” (Yusuf
12:37). Salah satu cermin pentingnya perencanaan dari Nabi Muhammad SAW
adalah saat beliau menyimpan hasil bumi dari tanah Khaibar selama satu
tahun sebagai cadangan untuk kepentingan masa berikutnya, seperti yang
diberitakan oleh Imam Zabidi.
Keluarga Berencana Dalam Pandangan Islam
Dua sumber fundamental hukum Islam adalah syariah dan fiqih. Syariah dalam bahasa Arab diartikan sebagai “jalan yang diikuti”.
“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al Jaatsiyah 45:18)
Sedangkan
fiqih adalah ilmu dari syariah. Secara harfiah diartikan sebagai,
pemahaman, pandangan, atau kemampuan untuk memahami dan mendapatkan ilmu
dari syariah.
Dalam kaitannya dengan perencanaan keluarga, Syaikh
Yusuf al-Qaradhawi menulis sebuah artikel yang sangat berpengaruh pada
tahun 1985. Ia menulis sebuah hadits shahih yang diriwayatkan yang
disampaikan oleh Jabir Ibn Abdullah:
“Kami biasa melakukan
pencegahan kehamilan (al azl atau dalam bahasa Inggris -coitus
interruptus-), bersamaan dengan jangka masa diturunkannya al Qur’an.
Jika memang praktik ini dilarang, pastilah al Qur’an akan menyebutkan
pelarangannya. (HR Muslim)
Selanjutnya menurut
syeikh Qaradhawi, oleh karena itu Jabir menganggap bahwa jika Qur’an
“diam” berkaitan tentang sesuatu hal, maka itu pertanda bahwa praktik
ini “diizinkan”.
Sebagai Muslim, kita sebaiknya tidak memahami
hukum Islam secara sempit, karena zaman terus berubah. Tetapi ini bukan
berarti kita mentolelir hal-hal mendasar yang telah ditetapkan oleh
Qur’an, seperti pelarangan mencuri, larangan makan daging babi dsb.
Kemampuan
“penyesuaian diri” hukum Islam terhadap perubahan zaman diutarakan
dengan jelas oleh ulama abad ke-19 Ibn Abdin (mazhab Hanafi), “Banyak
hukum yang berbeda dalam rentang waktu yang berbeda, karena adat,
kebiasaan masyarakat dan kebutuhan yang berubah. Sangat jelas, jika
pemahaman akan hukum “tidak beradaptasi”, maka kesusahan akan melanda
manusia, yang pada akhirnya akan melanggar prinsip hukum Islam itu
sendiri yang menganjurkan untuk meringankan beban manusia dan
menghindari hal yang memberatkan.” [1]
Sama halnya dengan pendapat Ibn Abdin, ulama dari mazhab Maliki, al Qurafi, juga menyatakan, “Pemahaman
akan hukum Islam secara sempit dan kaku hanya akan mendorong seorang
Muslim semakin jauh dari jalan-Nya, yang kemudian akan menjadikannya
seorang yang bodoh, tidak paham dan tidak mampu meneladani sikap-sikap
ulama terdahulu.”[2]
Aplikasi
KB dalam pandangan hukum Islam yang “telah disesuaikan” diutarakan oleh
ulama Al Azhar, Sheikh al-Sharabassi pada tahun (1974). Ia menyatakan, “Hukum
Islam berurusan dengan sesuatu yang berubah, baik itu perubahan kondisi
manusia atau waktu dan tempat; hukum ini tidak meletakkan sesuatu yang
berubah pada posisi yang pasti, kaku dan sempit dengan formula yang
serba pasti, melainkan menyerahkan opini dan pemahaman kepada komunitas
ulama yang dibatasi dengan kerangka hukum Islam.”
Dalam
kaitannya dengan perencanaan keluarga, tidak ada satu pun ayat dalam
Qur’an yang secara lugas melarang perencanaan kehamilan. Menurut para
ahli fiqih, “diamnya” Al Qur’an bukan berarti bahwa Allah mengabaikan
hal ini karena Ia Maha Tahu. Mereka menganggap bahwa diamnya Al Qur’an
dalam hal ini merupakan pertanda bahwa pengaturan kelahiran anak
bukanlah suatu yang terlarang.
Tidak ada yang salah jika terjadi
pro dan kontra dalam keluarga berencana, tetapi yang menjadi masalah
adalah bahwa beberapa orang terkadang memulai argumen dengan pendapat
dan prasangka yang dicari-cari dari al Qur’an. Dan jika mereka tidak
menemukan sesuatu dalam al Qur’an yang mampu mendukung opini mereka,
mereka akan melebih-lebihkan makna dari ayat-ayat al Qur’an yang mereka
anggap dapat mendukung pendapat mereka. Metoda yang benar adalah memulai
sesuatu dengan Qur’an, dan mencari dukungan dari tafsir juga Sunah, dan
kemudian membentuk opini.
Keluarga Berencana Sebagai Bagian Dari “Pembunuhan”
Hampir semua yang menentang konsep KB menganggap bahwa al-azl atau semua praktek yang dimaksudkan untuk mencegah kehamilan sama dengan pembunuhan, sesuatu yang dilarang keras oleh Qur’an.[3] Argumen mereka berdasarkan ayat,
“… dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.” (Al An’am: 151)
Dan mereka yang khawatir menjadi miskin dengan kehadiran anak, Allah memperingatkan,
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.” (Al Israa’: 31)
Selain itu, surat at Takwiir ayat 8-9 dan surat al-Mumtahana ayat 12 termasuk digunakan sebagai argumen oleh pihak penentang KB. Walaupun begitu, pihak penentang KB mengakui
bahwa cuplikan ayat-ayat di atas merupakan sebuah larangan yang tidak
langsung dan tidak ada ayat yang secara eksplisit menyatakan
larangannya.[4]
Di
lain pihak, pendukung KB menganggap bahwa perencanaan kehamilan dengan
kontrasepsi hanyalah langkah pencegah kehamilan, dan tidak ada kaitannya
dengan pembunuhan.[5]
Dalam argumennya, pihak pendukung ini mengutarakan sejarah Imam Ali RA
beserta khalifah Umar bin Khattab dan beberapa sahabat lainnya yang
menolak bahwa pencegahan kehamilan (al azl) adalah bagian dari pembunuhan (wa’d).
Imam Ali RA menganggap bahwa pembunuhan terhadap bayi (wa’d) hanya
terjadi jika janin mencapai lapisan ke tujuh, ia menyatakan demikian
berdasarkan surat al-Mu’minuun ayat 12, 13, 14. Pada saat itu
khalifah Umar setuju dan memuji interpretasi Ali RA. Bagaimanapun,
sejarah ini berdasarkan hadits Judama yang beberapa ulama menganggapnya
sebagai hadits lemah.
Qadar, Rezeki Dan Tawakkal
Golongan
kontra menganggap bahwa perencanaan keluarga melalui pengaturan
kehamilan merupakan tindakan yang melawan ketetapan-Nya, dan suatu bukti
“ketidakpercayaan” kepada Allah untuk menjamin kebutuhan anak. Mereka
mengutarakan beberapa ayat al Qur’an untuk mendukung argumennya.
Qadar
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At Takwiir: 29)
“Aku
tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.” (Al A’raf: 188)
Rezeki
“Dan tidak ada suatu binatang melata [709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (Huud: 6)
Oleh karena itu, Allah pasti akan menjamin seluruh kebutuhan makhluk-Nya termasuk anak-anak.
Tawakkal
Sebagai
muslim, sudah seharusnya kita menyandarkan segala keperluan hidup kita
kepada Allah, termasuk semua hal yang berkaitan dengan anak-anak. Hal
ini jelas tercantum dalam al Qur’an termasuk surat al-Mumtahana ayat 4
dan surat ath-Thalaaq ayat 2-3.
Anak sebagai “Harta”
Golongan penentang KB menganggap bahwa anak adalah harta tak ternilai seperti yang disebutkan dalam al Qur’an.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Al Kahfi: 46) dan juga yang tercantum dalam surat al Furqaan ayat 74, serta permohonan Nabi Zakaria AS yang tertuang dalam surat ali Imran ayat 38.
Golongan
yang pro dengan konsep KB menjawab bahwa anak memang merupakan aset
berharga yang tak ternilai dan juga sebagai penerus keturunan, tetapi
ini tidak selalu berarti harus anak dalam jumlah yang banyak, yang bisa
jadi “terlantar” dan kurang perhatian sehingga pendidikan agama pun
kurang. Mereka mengemukakan ayat di bawah ini sebagai landasan
argumennya.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al Kahfi: 46)
Dari
ayat 46 surat al Kahfi ini, menurut pendukung KB, mempunyai banyak anak
dan harta tidak seharusnya selalu “menyenangkan” Allah, tetapi kualitas
dari manusia itu sendiri yang lebih terpuji di hadapan Allah.
Sebagaimana disebutkan juga oleh surat Saba ayat 37. Selanjutnya Qur’an juga mengingatkan bahwa anak-anak dan harta bisa menjadi sumber fitnah, seperti yang disebutkan surat al Anfal ayat 28.
Golongan pendukung KB juga mengangkat surat 37 ayat 100
tentang doa nabi Zakaria AS. Ia lebih “memilih” berdoa agar dianugerahi
anak yang baik dan bukan berdoa untuk mempunyai banyak anak. Jika kita
melihat keadaan sekitar kita dengan segala kompleksitasnya, mau tidak
mau harus kita akui bahwa mendidik anak untuk menjadi manusia yang baik,
dan mampu membela agamanya bukanlah sesuatu yang mudah.
0 komentar:
Posting Komentar